Palestina Dalam Coretan Satire Sacco



Pernah dengar lelucon ini? ini adalah lelucon satire Palestina

Alkisah, suatu hari ada tiga orang agen rahasia top dunia sedang berjalan2 di pinggir hutan. Mereka adalah CIA, KGB, dan Shin Bet. Saat sedang berjalan2, mereka melihat seekor kelinci masuk ke dalam semak2 hutan. Tiga agen tsb membuat suatu permainan, siapa yg lebih cepat menangkap kelinci tsb.
Agen CIA maju lebih dahulu, dalam 10 menit ia berhasil menangkap kelinci tsb. Agen KGB berkata ia bs lbh cepat dari itu, kelinci pun dilepas lagi. Hanya dalam 5 menit sang Agen dapat menangkapnya.
Agen Shin Bet nampak tidak terkesan, katanya "Itu sih biasa. Lepaskan lagi.." Kelinci kembali di lepas. Sang agen Shin Bet mengejar ke dalam hutan. Dua agen lainnya menunggu. 5 menit kemudian..10 menit..20 menit..30 menit..ternyata agen Shin Bet belum muncul juga.
Akhirnya dua agen tsb masuk dalam hutan untuk mencarinya. Mereka berjalan dan semakin jauh masuk ke dalam hutan. Tiba-tiba terdengar suara gaduh, suara teriakan, rintihan kesakitan, dan makian..Mereka semakin penasaran mencari sumber suara tsb. Tibalah mereka di suatu tanah lapang tempat suara itu berasal. Dua agen tsb terpana melihat apa yg sedang terjadi, sang Agen Shin Bet tampak sedang memukuli seekor kuda sambil berteriak, "Akui, kamu kelinci itu!! Akui kamu kelinci itu!!"

Mungkin lelucon itu terdengar agak melebih2kan, namun, dalam kenyataan sehari-hari di Palestina hal itu bukanlah suatu yang dilebihkan. Itu merupakan realita. Penangkapan sewenang2, penghancuran rumah, penyitaan rumah, serta "siksaan atau tekanan fisik sedang" merupakan suatu realita kelam yang menjadi santapan keseharian orang-orang Palestina. Menginterpretasikan ulang tulisan Edward Said, dapat dikatakan ada sebuah konstruksi naratif yg selalu di benamkan dalam alam bawah sadar orang-orang di luar Palestina oleh media bahwa keberadaan dan bentuk Palestina serta manusia yang mempertahankan eksistensi itu tak lebih hanya fatamorgana semata.

Bisa jadi kita akan mengatakan "tidak bisa itu" Kita tetap meyakini (atau beranggapan?) bahwa Palestina itu ada dan tetap ada. Ok, memang benar. Namun, apakah keyakinan itu bersumber dari gegap gempita berita2 di media tentang intifada, bom mobil (saya kurang nyaman dengan frasa "bom bunuh diri"), kematian Arafat yang mengharukan, atau bahkan perseturuan Hamas-Fatah?
Ok, setidaknya itu memang merupakan suatu perhatian yg cukup menghangatkan di kala banyak muka berpaling dari keadaan Palestina. Namun, tidakkah kita bertanya pada diri sendiri, apakah perhatian tersebut hanya sekedar perhatian sambil lalu atau memang perhatian yg concern? Kalau perhatian itu merupakan sesuatu yg sekedar sambil lalu, maka mungkin yg selama ini kita perhatikan adalah gempita berita itu sendiri. Sungguh ironis, karena nasib dan eksistensi manusia Palestina yg menjadi permasalahan justru terabaikan setelah berita itu sendiri selesai dibacakan.

Lantas, di zaman ketika kata telah di reproduksi sedemikian rupa, ketika berita-berita "objektif" telah direkonstruksi oleh kekuatan dibalik korporasi media2 global, apalah arti kata2? Bagaimana kata-kata dapat merubah keadaan? Sebuah pertanyaan tak terjawab yg menimbulkan sebuah labirin hampa. Namun, toh membentur dinding tak terjawab itu, Joe Sacco, jurnalis sekaligus kartunis asal AS, masih tetap saja tak menyerah untuk berusaha mencari jawabannya. Melalui media komik (atau novel grafis) "Palestina" ia berusaha menyuguhkan sebuah alternatif baru dalam menarasikan derita Palestina, derita orang-orang yg terusir dari kampung halamannya sendiri.

Selama dua bulan, ia menghabiskan waktu berada di wilayah Palestina. Duduk, berbicara, minum teh, dan mengambil gambar masyarakat Palestina serta kondisi di kamp-kamp pengungsi. Ia melakukan reportase mengenani peristiwa Intifada pertama yg terjadi pada Desember 1987, kekerasan fisik yg dialami warga Palestina yg disebut Israel sebagai "tekanan fisik sedang", penghancuran rumah-rumah warga, pembabatan ladang-ladang zaitun mereka, pemandekan ekonomi mereka, sampai tekanan-tekanan psikologis yg mereka rasakan selama berada dalam "neraka" pengungsian. Sacco menuangkan detil pengalamannya itu dalam coretan-coretan keras, apa adanya, tidak berusaha menutupi keruwetan yg ada, kadang lucu dan satire, namun semuanya disajikan dengan sangat memperhatikan detil bahkan dari setiap sudut lorong-lorong sempit yg ia lewati. Pemilihan angle gambar dalam tiap kotak komiknya juga menunjukkan hasil pengamatan seorang jurnalis investigatif yg sangat cermat, konsisten, dan tentunya jujur dengan diri sendiri maupun lingkungannya dalam pemilihan angle reportasenya.

Dengan menyebut karya Sacco ini sebagai sebuah novel grafis, tentu sedikit banyak telah membedakannya dengan karya komik biasa yg sangat bertumpu pada kekuatan gambar. Apalagi, narasi teks yg disajikan Sacco bukan sekedar tempelan semata. Ia mampu menghadirkan kelengkapan data yang menjadi jembatan utuk memahami perpindahan gambar yg sangat menyentak. Kata-katanya pun mengalir dengan lancar, cerdas, serta kerap menghentak pikiran kita. Ia juga mengikut sertakan dirinya sebagai tokoh utama dalam komik (maaf dengan ketidak konsistenan saya dalam penyebutan komik atau novel grafis) tersebut. Namun, dirinya sebagai tokoh utama tidak digambarkan sebagai sosok yg kuat, tegar, atau jagoan. Ia justru menggambar dirinya sebagai seorang yg kikuk, kadang penuh keraguan, tak jarang ia terpojok oleh situasi dan hanya bisa menghindar dari kerumunan atau desakan pertanyaan skeptik orang-orang Palestina. Ia berusaha untuk meleburkan dirinya menjadi bagian dari orang-orang Palestina yang kedinginan, berjalan di atas jalanan yg becek, genangan air dan tumpukan sampah, hidup di bawah tekanan, serta makan makanan mereka.

Saya membaca karya Sacco pertama kali pada tahun 2004, setelah lebih dahulu tahu dari internet. Membaca karya Sacco bagi saya, seperti mendapat pengalaman berada langsung di Gaza, Tepi Barat, Jabalia, Rafah, Nablus, Khan Younis, dan di tiap kamp-kamp pengungsi. Gambarnya terasa sangat hidup dan memiliki kekuatan sendiri untuk menggugah perasaan. Keterasingan mereka, kesulitan hidup, guratan amarah pada kerut-kerut wajah mereka, kekecewaan mereka terhadap dunia luar dan para pemimpin Arab, kepedihan jiwa-jiwa yg hidup dalam tekanan penjajahan, kekejaman para pemukin serta tentara Yahudi, dan semangat yg tetap terpancar dari mata-mata sayu mereka sungguh nyata saya rasakan.

Membaca 'Palestina' seperti menghadirkan sudut pandang yg berbeda, sudut pandang yg lebih kaya dan lebih intim daripada yg selama ini saya baca dan dengar dari media maupun literatur tentang Palestina. Saya seakan diajak bersentuhan secara langsung dengan perasaan mereka melalui dialog-dialog serta ekspresi wajah mereka. Memang benar bahwa dengan gambar akan lebih memudahkan orang utuk memahami narasi teks yg mungkin berbelit. Bagi saya, jelas lebih enjoy menikmati karya Sacco ini dari membaca The Question of Palestine nya Edward Said (bukan berarti saya berkata bahwa karya Edward Said berbelit, semata hanya karena keterbatasan akal saya saja). Lantas, apa yg saya dapat setelah membacanya? Jelas, saya akan berkata bahwa setidaknya saya menjadi lebih tahu kondisi serta apa yg mereka rasakan. Namun, muncul pertanyaan lain dalam diri saya,
"setelah tahu kondisi mereka lantas apa?"
"apa yg bisa saya lakukan?"
"apa pengaruhnya bagi rakyat Palestina jika saya mengaku lebih tahu apa yg mereka rasakan,
adakah itu membawa perubahan bagi mereka?"
"adakah hidup mereka menjadi jauh lebih baik? Apa bedanya jika saya tak membacanya sama sekali?"

Yah, sambil menghela nafas paling saya berkata, "setidaknya saya bisa mendoakan mereka dengan lebih khidmat" Ya, lagi-lagi cuma itu yg bisa saya katakan, doa. Itupun kalau tidak lupa oleh urusan pekerjaan dan lain sebagainya. Lantas dimana posisi Palestina dalam ruang hati saya? Apakah cukup bagi saya hanya berkata cinta Palestina titik? Tanpa ada sesuatu yg bisa saya lakukan selain doa? Lantas apa? Yah...sebuah pertanyaan yg tak terjawab.

Sacco bukannya tidak mengalami sergapan pertanyaan yg menguji konsistensinya dalam meng'komikan' Palestina. Seperti dalam sebuah adegan dengan seorang ibu yg telah kehilangan anak serta suaminya, Sang Ibu bertanya, "Apa gunanya bicara denganmu? Bagaimana kata-kata bisa mengubah keadaan?" Sacco hanya terdiam, tertunduk dan berkata bahwa ia tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan setelah sekian waktu ketika ia diwawancara oleh seorang wartawati, ia mengaku bahwa sampai hari ini pun ia masih belum bisa menjawab pertanyaan yg dilemparkan ibu tsb. Ia berkata, "Bercerita tentang sejumlah insiden sejarah, siapa yg peduli, akhirnya? Mungkin pretensi saya saja yg menganggap ini menarik.."

Walau demikian, Sacco rasanya telah menunjukkan sebentuk kepedulian yg lebih baik dari kita (ataukah hanya saya sendiri) bahwa diam tak akan mengubah apa-apa. Sacco menolak untuk diam. Ia memilih berkata-kata walau mungkin bagai berteriak di padang pasir yg luas. Ia menolak kebisuan. Sebentuk kepeduliannya mungkin dapat mengakibatkan suatu perubahan. Inilah bentuk perjuangannya bagi Palestina. Sementara saya, apa yg telah saya lakukan bagi mereka?

Apa yg terjadi di Palestina menunjukkan sebuah ketidakadilan sejarah dan sikap dunia. Joe Sacco dengan menggunakan pendekatan jurnalisme dan grafis mencoba untuk melakukan sebuah perjuangan melawan ketidakadilan tersebut. Mengutip Goenawan Mohammad, perjuangan untuk mewujudkan keadilan melalui jurnalisme merupakan sebuah perjuangan yg bukan hanya niat dan rencana yg optimis, melainkan sebuah kerja membangun harapan di setiap lagkah, termasuk ketika salah dan gagal.

Saya tidak ingin membuat kesimpulan atau ringkasan apapun dari tulisan ini. Namun, setelah membaca, kemudian membaca kembali, dan merenungkan "Palestina", saya temukan satu titik terang. Bahwa tidak ada yg penting dan tidak penting dalam urusan di dunia ini, termasuk dalam permasalahan Palestina. Yang membedakan adalah bagaimana kita melihat hal tersebut dan bagaimana kita memaknainya. Apakah kita termasuk orang-orang 'bisu dan tuli' yg tidak dapat menyebabkan perubahan atau sebaliknya.

Seorang pengungsi yg ditemui Sacco berkata, "Kami tidak menginginkan uang, kami mau negara kami, kemanusiaan kami. Kami juga manusia!"
Saya harap, tulisan ini setidaknya sedikit mengekalkan dalam ingatan bahwa masalah Palestina merupakan masalah yg panjang dan komplek. Berita tentang penindasan yg dialami rakyat Palestina telah sering kita dengar, lihat dan baca. Namun, permasalahan sesunguhnya jauh lebih panjang dari beberapa bait headline yg kita baca dalam koran maupun majalah. Semoga segala perhatian kita, empati yg kita rasakan, atau doa yg dipanjatkan tidak menghilang seiring bergantinya berita yg dibacakan oleh pembaca berita di TV.

Jogja, April '07

Komentar

Anonim mengatakan…
bila keadilan telah ditegakkan, keberanian tak lagi dibutuhkan.

Postingan Populer