Ayo Maksiat Sepuasnya, Kita Lihat Nanti Tuhan Mo Apa

Tahun 2004 lalu di Jogja pernah digelar sebuah pameran foto yg judulnya "4 sehat molimo sempurna" Kebetulan saya sempat lihat dan dapat posternya. Malam tadi, entah kenapa saya jadi teringat lagi poster pameran itu, ada satu foto yg menarik, skeptik, sekaligus satire pula. Seorang pewarta foto berhasil mengabadikan sebuah tulisan besar yg dipampang di salah satu ruas jalan di DIY. Tulisan itu berbunyi, "Silakan mabok sepuasnya, nanti kita lihat Tuhan mo' apa! Ttd Iblis Ar rojim Al 'Abdu Alkohol" Geli juga membaca tulisan (lewat foto) tsb. Tapi bisa jadi ada yg salah memahami menjadi seolah2 si pembuat tulisan itu sangat lancang terhadap Tuhan. Saya cuma berpikir, duh, apa sudah sebebal itukah masyarakat kita, sampai2 mengingatkan saja harus dengan sindiran sarkastis guna membuka mata hatinya.

Mungkin si pembuat tulisan tsb sudah jenuh mengingatkan orang-orang dengan cara yg positivis dan lurus. Mungkin memang harus dibuat suatu pemahaman dengan logika terbalik. Mungkin karena memang logika terbalik itulah yg selama ini senantiasa menjadi jalan pikiran manusia Indonesia. Mungkin. Kalau itu yg terjadi, alangkah hebatnya bangsa ini, sampai logika-logika sederhana saja harus dijungkir balikkan untuk memahami sesuatu yg sebenarnya sederhana. Ya, mungkin ia memang telah sampai pada titik kejenuhan mencari pintu hati mana lagi yg harus diketuk dari anak bangsa ini.

Terbetik sejumput pikiran atau malah kesimpulan dalam benak ini, rasa-rasanya memang sudah gak mungkin lagi mengingatkan para 'wakil rakyat' kita untuk meninggalkan korupsi dan segala tetek bengek busuk birokrasi. Bahkan para malaikat pun mungkin juga telah lepas tangan terhadap para 'wakil rakyat' tsb. Bayangkan, jika malaikat saja sudah nyerah untuk menuntun mereka pada kebaikan, lantas sudah sampai level berapakah kebebalan para 'tuan-tuan terhormat' kita itu? Sang Iblis Ar Rojim mengacungkan dua jarinya, tanda victory, sambil tersenyum simpul penuh kepuasan.

Apa ini disebut menyerah pada kedzaliman? Bisa jadi, tergantung siapa yg mau menilai dan seperti apa. Tapi ini bisa jadi sebentuk ketakberdayaan yg tak mungkin lagi diselesaikan oleh tangan manusia. Jadi kenapa harus marah-marah? Lho, bukankah itu hak kita, harta kita yg harus kita bela agar jangan sampai hilang begitu saja? Ya, memang. Kenapa tidak lapor kepada yg berwenang? bukannya sekarang ada organisasi2 yang memberantas korupsi? Lapor mereka saja, pasti dapat diusut. Oalah, apa dak sadar to? organisasi2 itu kapan sih lahir? mereka kan anak kemaren sore, sebisa-bisanya, sepandai-pandainya, bisa sampai sekuat apa sih mereka? Kalau kita yg sudah merasakan sakit berpuluh tahun saja tidak bisa tersembuhkan, lantas apa yg mereka tahu tentang rasa sakit itu sendiri? Bagaimana seorang dokter, misalnya, akan mengobati suatu penyakit kalau penyakit itu sendiri tidak ia ketahui? Bukankah ketika berhadapan dengan suatu masalah yg sangat besar, ada kalanya manusia sampai pada titik keterbatasannya?

Kalau memang begitu adanya, mari kita sambil tersenyum dan kalau bisa menjabat tangan para pejabat daerah, desa, kelurahan, pejabat pemkot, anggota dewan, para birokrat, menteri, pejabat instansi2 BUMN, bahkan sekalian bapak presiden dan wakilnya kalau bisa, jangan ada nada marah, tetap sunggingkan senyum, dan dengan perasaan ikhlas kita sama2 bilang, "Monggo bapak-bapak, ibu-ibu sekalian, silahkan panjenengan korupsi sepuas hati dan perut panjenengan semua. Sungguh ndak pa pa lho. Jangan sungkan, monggo. Nanti kita lihat saja bisa apa sih Tuhan?" Setelah itu jangan lupa bilang, "Matur nuwuun"

Semoga saja keikhlasan kita yg dibarengi dengan senyum itu akan mendapat tempat khusus di sisi Nya. Semoga saja itu dilihat Nya sebagai doa serta kepasrahan para manusia-manusia mustadh'afiin. Semoga pula kita tidak menyusul menjadi orang yg diberi ucapan yg sama oleh anak cucu kita nanti...ya, semoga saja.

Jogja, April '07

Komentar

Postingan Populer