"Ngeles aja, kayak bajaj lo..!!"
Saya selalu dibilang begitu oleh seorang teman, kalau ketika sedang asyik ngobrol lantas saya seolah terpojok oleh sebuah pertanyaan (apa memang demikian?) yg ia ajukan lantas serta merta saya jawab sekenanya dan seenak kata yang kebetulan terlintas dalam benak.
Lucu juga, kenapa bisa dibilang ngeles kayak bajaj? Emang ada bajaj yang ikut les? Apa mungkin kursus las? Lha ya memang bajaj 'lahir' karena perjodohan yang intim antara logam besi dengan las bukan? Memangnya bisa, bajaj 'lahir' karena perselingkuhan lem kertas dengan besi? Nah, kalau saya omong gini ke dia, pasti dia semakin jengkel dan berkata, "Ngelesss truuuusss sono!" :)
Namun, sewaktu dibilang ngeles aja kayak bajaj, tak sengaja seruntutan renungan melintas. Bajaj, sungguh awalnya sebuah alat transport yang sangat dibangga-banggakan, mungkin dahulu para manusia Jakarta itu saling berebut untuk mencoba bajaj sama seperti ketika bus way pertama kali muncul. Saling berdesakan untuk sekedar mencoba suatu alat baru, entah apa di kemudian hari nanti memang bisa memecahkan masalah transportasi mereka atau justru menambah daftar kegagalan kota yang semakin semrawut tiap detiknya itu.
Ya, tiap orang desa atau 'kampung' yang meningkahi tanah Jakarta pasti merasa tak lengkap kalau belum mencicipi melihat view Ibu Kota dari jendela bertirai terpal kusam di jok belakang bajaj. Raungan keras mesinnya yang bagai berteriak kelelahan seolah menjadi denting nada yang semakin melengkapi 'soul' nge-bajaj.
Tapi itu dulu, dulu sekali. Sebelum jalan-jalan beraspal bertambah banyak, menerkam dengan beringas tanah persawahan, lahan-lahan penduduk, lahan hijau dan sudut-sudut eksotis peninggalan Jakarta di masa lampau. Sekarang, bajaj diburu, di larang masuk mencicip jalan halus di pusat kota, di pinggirkan sampai sejauh mungkin dari batas kota serta batas kenangan warga. Jalan tak rata, berlubang, becek, kadang juga tak bisa dilewati adalah menu utama mereka kini. Kalau sesekali bisa merasakan jalan beraspal, itu pun harus dengan ekstra hati-hati agar tak kepergok bapak polisi atau penguasa jalanan sekarang. Sekali kepergok, sial di tengguk. Minimal sanksi pelanggaran lalu lintas biasa yang membuat selembar puluhan ribu berpindah dari dompet kumal berdebu milik Si sopir ke 'rumah' baru yang nyaman di dompet halus milik bapak polisi. Yang paling berat, yah dilabuh ke samudera tempat ia akan kembali berkumpul bersama para sesepuhnya yang telah menahun mencecap asin plus anyirnya air laut jakarta.
Habis manis, sepah di buang. Begitu kata pepatah lama. Nampak masih sangat relevan bukan?
Bajaj, bagi saya, tak ubahnya adalah refleksi dari wajah-wajah manusia. Andai dapat bicara, mungkin bajaj akan berkata kalau kita dan mereka adalah saudara jauh. Hanya tampilan fisik yang membedakan kita. Tapi, esensi yang tersirat dari pada keduanya merupakan lantunan kisah sendu kehidupan di dunia ini.
Bajaj, setelah dirasa cukup membosankan dan mungkin kurang trendy lagi, perlahan namun pasti disisih-sisihkan. Dari kota, di semprit keluar, ke pinggiran kota, masih kurang cukup, semprit lagi untuk lebih 'menepi' ke bibir Priok. Ternyata itu pun masih kurang, maka agar kota terlihat indah dan tertib, harap bajaj menempati 'rumah' barunya dengan sukarela, lautan. Pantas kalau bajaj selalu ngeles. Ngeles dari kejaran aparat, semburan pedih bisa gubernur, tatapan sinis sekaligus merendahkan dari orang-orang kota yang mengaku 'beradab,' belum lagi para anggota dewan yang menagatasnamakan keteraturan transportasi, mereka bersepakat bulat: bajaj sudah TIDAK DIBUTUHKAN, bajaj sah untuk DIACUHKAN, bajaj silakan ENYAH! BAJAJ MINGGIR SONO..!
Tidak cukup memuaskan hasrat memakinya, mereka menambahkan konotasi negatif untuk menghias nama bajaj, "Dasar! Ngeles mulu lo, kayak bajaj aja!" Nah, apa salah bajaj sampai dia di maki dan direndahkan sehina itu? Bukannya bajaj juga yang dahulu mengantar mereka pagi-pagi ke kantor? Ia juga mengantar ke sekolah-sekolah mereka kan? Lupakah mereka kalau lagi-lagi bajaj juga yang 'menyelamatkan' mereka sewaktu tidak ada angkutan lain yang sanggup didapat? Bukankah di bajaj juga mereka bercengkerama memadu kasih sambil terbatuk-batuk karena sesak asap kendaraan Jakarta? Lantas, kenapa semua ucapan terimakasih dan penghormatan itu seolah menguap tak terjelaskan?
Bajaj, mungkin, tidak mengharap semua penghormatan atau pelukan terimakasih dengan sentimentil dari para mantan 'pelanggannya.' Rasanya ia juga bukan sosok melankolis yang menikmati segala tangis perpisahan atau peluk persahabatan, justru ia akan menertawakan semua itu. Toh, ia juga belum tentu akan menitikkan air mata atau berpelukan lama seolah haru karena enggan melepaskan pelanggannya. Bajaj adalah sosok yang praktis. Satu orang datang butuh bantuannya, pasti langsung ia berikan, tanpa perlu bertanya bertele-tele. Apa yang anda butuhkan, jika memang dirasa sanggup membantu, bajaj langsung menjalankan kewajibannya. Usai menolong, ia tak menuntut lebih dari apa yang telah ia berikan, cukup berterima kasih dengan menghargai jasa sepatutnya dan ia akan melanjutkan perjalanannya.
Mungkinkah itu masih dirasa terlalu berat? Kalau memang begitu, "ya nasiiiibb, ya nasiiiiib, malang bener ente bajaj!"
Mungkin lagu sepi yang mengiringi bajaj bagai lantunan lagu sendu tokoh Susi dalam novel 'Pabrik' karya Putu Wijaya,
"Mijn Sarie marijs is ver van mijn hart
Daar ik hoop haar weer terug te zien..."
"Zij hebt daar in die wijk bij mooi rivier gewoond
Daar wont mijn Sarie Marijs..."
"Hujan, angin, guruh, dingin...sebentar lagi pagi. Sedih hatiku."
"Terus terang saja, aku sudah tua, benar. Ke mana harus kutawarkan bangkai ini. Lihat tangan ini, sudah kendor semua. Kalau terlampau lama berdiri mataku berkunang-kunang. Katakan saja terus terang, apa gunanya aku menunggu. Kalau memang ada, baiklah aku tunggu terus. Kalau tidak biar aku mati lebih dulu. Aku rela, meskipun aku tidak diacuhkan, padahal akulah yang paling jujur."
"Saatnya akan tiba. Saatnya akan tiba nanti..."
Susi, seorang wanita simpanan yang dahulunya sempat dinikahi oleh tuannya, Tirtoatmojo, setelah dirasa akan mengganggu ambisi serta masa depan tuannya, lantas begitu saja dicampakkan ke comberan, tak ubahnya lonte (dan mungkin ia memang demikian). Susi merasa remuk, dibuang, bahkan mungkin ia rasa lebih baik jadi sampah, karena masih dapat didaur ulang untuk dipakai lagi. Di senja waktunya, bagaimana ia tak berasa remuk, harapan serta impian yang telah ia gantungkan setinggi langit ternyata hanya berujung pada kesia-siaan. Sia-sialah penantian yang selama ini ia jalani dengan kesabaran, pahit dan pedih yang rela ia telan dalam-dalam, sendirian.
"Susi, Susi...kasian bener jadi manusia. Makanya jadi orang jangan terlalu berharap yang muluk-muluk, tar kalo gak kesampean, nyungsep lo!" Salahkah Susi karena terlalu berharap? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Salahkah orang yang mencampakkannya? Bisa jadi, tapi bisa jadi juga tidak. Semuanya sangat relatif.
Tapi ini bukan tentang Susi, tuannya, bajaj, pak polisi, bapak menteri, atau yang lain. Ini semua tentang diri kita sendiri. Ya, diri kita. Lihatlah, bukankah kita seperti menghadap cermin yang memantulkan bayangan diri kita masing-masing?
Bajaj itu dan Susi adalah pantulan dari orang-orang yang terbuang. Orang-orang yang telah merasakan bisa manis kehidupan, racun berasa madu dari orang-orang yang dahulu mencintai, membutuhkan, mendekap, atau mencumbu mereka. Sirna daya pikatnya, serta merta jadilah mereka barang buangan. Tak ada artinya lagi. Bahkan kalau boleh memilih, mereka pasti akan memilih jadi sampah plastik saja, karena masih akan diambil orang lain untuk digunakan kembali.
Sedang mereka yang membuangnya, tak lain adalah wajah durjana dunia. Orang-orang yang hanya menghargai kepentingan dirinya sendiri, pihak yang mudah melupakan tetes keringat yang rela terucurah demi mereka, di masa lalu.
Siapa yang benar dan yang salah? Sekali lagi, itu sangatlah relatif. Keduanya bisa saja benar atau salah pada waktu yang sama. Susi dan bajaj itu, mungkin mereka terlalu bodoh untuk berharap keindahan pada dunia yang serba palsu ini. Terlalu gampang dirayu akan janji-janji dan kesetiaan di masa depan. Apa mereka tidak pernah belajar dari pengalaman orang-orang yang telah termakan janji manis para pembual tersebut?
Lantas, apakah para pembual itu pantas dituding sebagai pendusta tak bernurani? Jangan dulu terbakar emosi. Mereka sebetulnya juga korban yang tergilas roda tajam hidup ini. Mungkin mereka telah sering menelan pil pahit di masa lalunya, sehingga kemudian mereka bersumpah untuk menjadi pihak yang soliter, tak terpengaruh segala sentimentilisme roman picisan dunia. Tidak ada hubungan yang sifatnya abadi, yang ada hanyalah sebatas apa kebutuhanku dan apa yang bisa aku dapat dari kamu. Persetan dengan cinta, persaudaraan, kekeluargaan. Yang ada hanyalah kepentingan dan hubungan temporer. Gelombang sinisme pun merengkuh mereka dalam-dalam. Selamat tinggal nurani, selamat tinggal kasih, selamat tinggal...
Dunia, duhai dunia, mengapa engkau kadang terlalu kejam pada mereka yang berharap padamu? Sungguh tega engkau campakkan anak-anakmu yang terlalu dini untuk memahami perbedaan antara kasih sayang dan pengkhianatan. Ibu pertiwi, adakah seorang ibu yang kejam pada anak-anaknya sendiri, membuang mereka bagai benda yang tak ada artinya?
Dimanakah posisi kita, saya, engkau, temanmu, sahabat yang kau percayai, teman yang kau benci, pacar, orang-orang yang pernah dekat denganmu, mereka yang dahulu rela bersusah payah membelamu, mereka yang kau campakkan, saudara, adik, kakak, paman, orang tua, semua orang? Adakah itu penting bagimu? Apa arti semua itu? Kaukah Susi? Miripkah saya dengan nasib bajaj ? Atau engkaulah pembual yang tega mencampakkan mereka?
Tataplah sebuah cermin dan katakan siapa kita sesungguhnya...
Jogja, Mei '07
dalam kekosongan dan kebodohan
Lucu juga, kenapa bisa dibilang ngeles kayak bajaj? Emang ada bajaj yang ikut les? Apa mungkin kursus las? Lha ya memang bajaj 'lahir' karena perjodohan yang intim antara logam besi dengan las bukan? Memangnya bisa, bajaj 'lahir' karena perselingkuhan lem kertas dengan besi? Nah, kalau saya omong gini ke dia, pasti dia semakin jengkel dan berkata, "Ngelesss truuuusss sono!" :)
Namun, sewaktu dibilang ngeles aja kayak bajaj, tak sengaja seruntutan renungan melintas. Bajaj, sungguh awalnya sebuah alat transport yang sangat dibangga-banggakan, mungkin dahulu para manusia Jakarta itu saling berebut untuk mencoba bajaj sama seperti ketika bus way pertama kali muncul. Saling berdesakan untuk sekedar mencoba suatu alat baru, entah apa di kemudian hari nanti memang bisa memecahkan masalah transportasi mereka atau justru menambah daftar kegagalan kota yang semakin semrawut tiap detiknya itu.
Ya, tiap orang desa atau 'kampung' yang meningkahi tanah Jakarta pasti merasa tak lengkap kalau belum mencicipi melihat view Ibu Kota dari jendela bertirai terpal kusam di jok belakang bajaj. Raungan keras mesinnya yang bagai berteriak kelelahan seolah menjadi denting nada yang semakin melengkapi 'soul' nge-bajaj.
Tapi itu dulu, dulu sekali. Sebelum jalan-jalan beraspal bertambah banyak, menerkam dengan beringas tanah persawahan, lahan-lahan penduduk, lahan hijau dan sudut-sudut eksotis peninggalan Jakarta di masa lampau. Sekarang, bajaj diburu, di larang masuk mencicip jalan halus di pusat kota, di pinggirkan sampai sejauh mungkin dari batas kota serta batas kenangan warga. Jalan tak rata, berlubang, becek, kadang juga tak bisa dilewati adalah menu utama mereka kini. Kalau sesekali bisa merasakan jalan beraspal, itu pun harus dengan ekstra hati-hati agar tak kepergok bapak polisi atau penguasa jalanan sekarang. Sekali kepergok, sial di tengguk. Minimal sanksi pelanggaran lalu lintas biasa yang membuat selembar puluhan ribu berpindah dari dompet kumal berdebu milik Si sopir ke 'rumah' baru yang nyaman di dompet halus milik bapak polisi. Yang paling berat, yah dilabuh ke samudera tempat ia akan kembali berkumpul bersama para sesepuhnya yang telah menahun mencecap asin plus anyirnya air laut jakarta.
Habis manis, sepah di buang. Begitu kata pepatah lama. Nampak masih sangat relevan bukan?
Bajaj, bagi saya, tak ubahnya adalah refleksi dari wajah-wajah manusia. Andai dapat bicara, mungkin bajaj akan berkata kalau kita dan mereka adalah saudara jauh. Hanya tampilan fisik yang membedakan kita. Tapi, esensi yang tersirat dari pada keduanya merupakan lantunan kisah sendu kehidupan di dunia ini.
Bajaj, setelah dirasa cukup membosankan dan mungkin kurang trendy lagi, perlahan namun pasti disisih-sisihkan. Dari kota, di semprit keluar, ke pinggiran kota, masih kurang cukup, semprit lagi untuk lebih 'menepi' ke bibir Priok. Ternyata itu pun masih kurang, maka agar kota terlihat indah dan tertib, harap bajaj menempati 'rumah' barunya dengan sukarela, lautan. Pantas kalau bajaj selalu ngeles. Ngeles dari kejaran aparat, semburan pedih bisa gubernur, tatapan sinis sekaligus merendahkan dari orang-orang kota yang mengaku 'beradab,' belum lagi para anggota dewan yang menagatasnamakan keteraturan transportasi, mereka bersepakat bulat: bajaj sudah TIDAK DIBUTUHKAN, bajaj sah untuk DIACUHKAN, bajaj silakan ENYAH! BAJAJ MINGGIR SONO..!
Tidak cukup memuaskan hasrat memakinya, mereka menambahkan konotasi negatif untuk menghias nama bajaj, "Dasar! Ngeles mulu lo, kayak bajaj aja!" Nah, apa salah bajaj sampai dia di maki dan direndahkan sehina itu? Bukannya bajaj juga yang dahulu mengantar mereka pagi-pagi ke kantor? Ia juga mengantar ke sekolah-sekolah mereka kan? Lupakah mereka kalau lagi-lagi bajaj juga yang 'menyelamatkan' mereka sewaktu tidak ada angkutan lain yang sanggup didapat? Bukankah di bajaj juga mereka bercengkerama memadu kasih sambil terbatuk-batuk karena sesak asap kendaraan Jakarta? Lantas, kenapa semua ucapan terimakasih dan penghormatan itu seolah menguap tak terjelaskan?
Bajaj, mungkin, tidak mengharap semua penghormatan atau pelukan terimakasih dengan sentimentil dari para mantan 'pelanggannya.' Rasanya ia juga bukan sosok melankolis yang menikmati segala tangis perpisahan atau peluk persahabatan, justru ia akan menertawakan semua itu. Toh, ia juga belum tentu akan menitikkan air mata atau berpelukan lama seolah haru karena enggan melepaskan pelanggannya. Bajaj adalah sosok yang praktis. Satu orang datang butuh bantuannya, pasti langsung ia berikan, tanpa perlu bertanya bertele-tele. Apa yang anda butuhkan, jika memang dirasa sanggup membantu, bajaj langsung menjalankan kewajibannya. Usai menolong, ia tak menuntut lebih dari apa yang telah ia berikan, cukup berterima kasih dengan menghargai jasa sepatutnya dan ia akan melanjutkan perjalanannya.
Mungkinkah itu masih dirasa terlalu berat? Kalau memang begitu, "ya nasiiiibb, ya nasiiiiib, malang bener ente bajaj!"
Mungkin lagu sepi yang mengiringi bajaj bagai lantunan lagu sendu tokoh Susi dalam novel 'Pabrik' karya Putu Wijaya,
"Mijn Sarie marijs is ver van mijn hart
Daar ik hoop haar weer terug te zien..."
"Zij hebt daar in die wijk bij mooi rivier gewoond
Daar wont mijn Sarie Marijs..."
"Hujan, angin, guruh, dingin...sebentar lagi pagi. Sedih hatiku."
"Terus terang saja, aku sudah tua, benar. Ke mana harus kutawarkan bangkai ini. Lihat tangan ini, sudah kendor semua. Kalau terlampau lama berdiri mataku berkunang-kunang. Katakan saja terus terang, apa gunanya aku menunggu. Kalau memang ada, baiklah aku tunggu terus. Kalau tidak biar aku mati lebih dulu. Aku rela, meskipun aku tidak diacuhkan, padahal akulah yang paling jujur."
"Saatnya akan tiba. Saatnya akan tiba nanti..."
Susi, seorang wanita simpanan yang dahulunya sempat dinikahi oleh tuannya, Tirtoatmojo, setelah dirasa akan mengganggu ambisi serta masa depan tuannya, lantas begitu saja dicampakkan ke comberan, tak ubahnya lonte (dan mungkin ia memang demikian). Susi merasa remuk, dibuang, bahkan mungkin ia rasa lebih baik jadi sampah, karena masih dapat didaur ulang untuk dipakai lagi. Di senja waktunya, bagaimana ia tak berasa remuk, harapan serta impian yang telah ia gantungkan setinggi langit ternyata hanya berujung pada kesia-siaan. Sia-sialah penantian yang selama ini ia jalani dengan kesabaran, pahit dan pedih yang rela ia telan dalam-dalam, sendirian.
"Susi, Susi...kasian bener jadi manusia. Makanya jadi orang jangan terlalu berharap yang muluk-muluk, tar kalo gak kesampean, nyungsep lo!" Salahkah Susi karena terlalu berharap? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Salahkah orang yang mencampakkannya? Bisa jadi, tapi bisa jadi juga tidak. Semuanya sangat relatif.
Tapi ini bukan tentang Susi, tuannya, bajaj, pak polisi, bapak menteri, atau yang lain. Ini semua tentang diri kita sendiri. Ya, diri kita. Lihatlah, bukankah kita seperti menghadap cermin yang memantulkan bayangan diri kita masing-masing?
Bajaj itu dan Susi adalah pantulan dari orang-orang yang terbuang. Orang-orang yang telah merasakan bisa manis kehidupan, racun berasa madu dari orang-orang yang dahulu mencintai, membutuhkan, mendekap, atau mencumbu mereka. Sirna daya pikatnya, serta merta jadilah mereka barang buangan. Tak ada artinya lagi. Bahkan kalau boleh memilih, mereka pasti akan memilih jadi sampah plastik saja, karena masih akan diambil orang lain untuk digunakan kembali.
Sedang mereka yang membuangnya, tak lain adalah wajah durjana dunia. Orang-orang yang hanya menghargai kepentingan dirinya sendiri, pihak yang mudah melupakan tetes keringat yang rela terucurah demi mereka, di masa lalu.
Siapa yang benar dan yang salah? Sekali lagi, itu sangatlah relatif. Keduanya bisa saja benar atau salah pada waktu yang sama. Susi dan bajaj itu, mungkin mereka terlalu bodoh untuk berharap keindahan pada dunia yang serba palsu ini. Terlalu gampang dirayu akan janji-janji dan kesetiaan di masa depan. Apa mereka tidak pernah belajar dari pengalaman orang-orang yang telah termakan janji manis para pembual tersebut?
Lantas, apakah para pembual itu pantas dituding sebagai pendusta tak bernurani? Jangan dulu terbakar emosi. Mereka sebetulnya juga korban yang tergilas roda tajam hidup ini. Mungkin mereka telah sering menelan pil pahit di masa lalunya, sehingga kemudian mereka bersumpah untuk menjadi pihak yang soliter, tak terpengaruh segala sentimentilisme roman picisan dunia. Tidak ada hubungan yang sifatnya abadi, yang ada hanyalah sebatas apa kebutuhanku dan apa yang bisa aku dapat dari kamu. Persetan dengan cinta, persaudaraan, kekeluargaan. Yang ada hanyalah kepentingan dan hubungan temporer. Gelombang sinisme pun merengkuh mereka dalam-dalam. Selamat tinggal nurani, selamat tinggal kasih, selamat tinggal...
Dunia, duhai dunia, mengapa engkau kadang terlalu kejam pada mereka yang berharap padamu? Sungguh tega engkau campakkan anak-anakmu yang terlalu dini untuk memahami perbedaan antara kasih sayang dan pengkhianatan. Ibu pertiwi, adakah seorang ibu yang kejam pada anak-anaknya sendiri, membuang mereka bagai benda yang tak ada artinya?
Dimanakah posisi kita, saya, engkau, temanmu, sahabat yang kau percayai, teman yang kau benci, pacar, orang-orang yang pernah dekat denganmu, mereka yang dahulu rela bersusah payah membelamu, mereka yang kau campakkan, saudara, adik, kakak, paman, orang tua, semua orang? Adakah itu penting bagimu? Apa arti semua itu? Kaukah Susi? Miripkah saya dengan nasib bajaj ? Atau engkaulah pembual yang tega mencampakkan mereka?
Tataplah sebuah cermin dan katakan siapa kita sesungguhnya...
Jogja, Mei '07
dalam kekosongan dan kebodohan
Komentar