DARI IBU SEORANG DEMONSTRAN

"Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini"
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas airmata
Tapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu
Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sesaat)
Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kau teriakkan kebencian
Atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walaupun betapa zalimnya
Orang itu
Niatkanlah menegakkan kalimat Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta Rasul kita yang tercinta
Pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka
dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata).
1966
Dari kumpulan puisi "Tirani dan Benteng" karya Taufik Ismail
Sebuah puisi yg sangat menyentuh perasaan. Membaca puisi tsb saya seolah merasakan betapa besar pengorbanan serta ketabahan para ibu yg anaknya menjadi korban kebengisan tirani sembilan tahun yg lalu. Ketegaran hati mereka ketika merelakan anak-anak mereka menumbangkan kezaliman yg menginjak-injak negeri ini telah membawa angin perubahan yg menyejukkan bangsa ini, walau hanya sementara. Para ibu tsb telah menunjukkan teladan yg sangat berharga bagi bangsa ini. Tanpa harus tersemat serentetan bintang tanda jasa, mereka telah memutar roda perjuangan dengan keikhlasan seorang pejuang sejati. Mereka telah meneruskan tradisi kehormatan para pahlawan terdahulu, para pahlawan yg terbaring bisu tanpa nama, tanpa gelar kehormatan, bahkan tanpa gelar 'pahlawan bangsa.'
Wahai ibu pemilik hati seluas samudera, wahai pemilik jiwa setegar karang, sungguh tiada satupun gelar kehormatan dan penghargaan di dunia ini yg sepadan dengan pengorbanan yg telah engkau berikan. Hanya keridhoan serta penghormatan dari Sang Maha Tinggi yg pantas disematkan kepadamu.
Wahai ibu, walau ku tahu tak ada yg pantas menyamai kehormatan atas pengorbananmu, namun izinkan ku torehkan rangkaian kalimat ini sebagai wujud kebanggaan dan penghormatanku kepadamu.
Bulan ini, sembilan tahun yg lalu, para pahlawan reformasi itu berbaris bersaf-saf.
Sambil bergandengan tangan mereka maju, pelan namun pasti menuju satu titik, ke singgasana kezaliman. Pelan namun pasti, acuh dengan peluh yg membanjiri tubuh mereka, tak peduli kulit jari-jari kakinya mengelupas karena beratnya perjalanan yg harus ditempuh.
Pelan namun pasti, abai dengan terik sang surya yg membara. Sinarnya justru menjadi bahan bakar yg mengentalkan semangat perjuangan.
Bulan ini, sembilan tahun yg lalu, heroisme atas keadilan memenuhi atmosfer negeri ini.
Atas nama keadilan, mereka yg maju bersaf-saf menjadikan dada-dada mereka sebagai tameng penahan berlanjutnya kezaliman. Atas nama keadilan, mereka sorongkan dada-dada mereka pada setiap bayonet yg terhunus, pada setiap moncong senapan yg tak kenal cinta kasih.
Atas nama keadilan pula, darah anak bangsa ini kembali tertumpah, memancar membasahi bumi pertiwi, harum bak wangi kasturi yang turun dari surga. Sungguh menyedihkan, darah mereka harus tumpah bukan karena peluru bangsa asing, mereka harus berhadapan dengan sesama anak bangsa yg mengabdi pada tiran penindas rakyat.
Bulan ini, sembilan tahun yg lalu. Masih tertancap dengan jelas dalam benakku wajah-wajah itu. Wajah-wajah lelah dan gosong. Namun masih jelas kuingat, pancaran semangat dan keteguhan dari mata mereka. Wajah-wajah sama yg merintih tak bersuara menahan pedih sepatu lars serta popor senapan yg menghujam tak bersahabat.
Wajah-wajah tersebut masih tetap wajah-wajah sama yg kini diam tak bersuara, mencium takzim bumi pertiwi yg membesarkannya. Dalam ketenangan serta lumur debu jalanan, mereka seolah masih hendak berkata: "Mungkin aku cukup sampai disini, kawan. Bawa, genggam erat2 jantungku yg masih berdegup kencang melantangkan pekik perjuangan. Lanjutkan, jangan takut, jangan mundur, kebenaran pasti kan jaya!"
Hari ini, lewat sudah kenangan sembilan tahun silam. Sang zaman tetap angkuh bergegas cepat-cepat tanpa mau sedikitpun melambatkan geraknya. Seolah tak hendak mengizinkan kami mengenang kembali wajah-wajah kalian. Wajah-wajah yg terkubur debu waktu yg semakin menggunung.
Hari ini, pekik reformasi yg dahulu membahana hanya tinggal sisa-sisa potongan kata yg tercecer tak membentuk makna. Hari ini, pekik perjuangan dan derai air mata sembilan tahun lalu telah semakin terpojokkan dalam sudut sempit lagi gelap sejarah bangsa ini. Hari ini, pekik perjuangan itu telah tenggelam oleh teriakan-teriakan lantang yg memperebutkan sepotong kekuasaan dengan tanpa rasa malu. Derai air mata yg dulu, telah tergusur oleh tawa puas para pemegang kekuasaan kini.
Mereka yg dahulu mengkritik penguasa, hari ini telah menjadi pengagung kekuasaan yg jengah mendengar sebait pun kritik.
Mereka yg dahulu bahu membahu menjadi benteng terakhir pembela rakyat, hari ini berbalik menjadi monster ganas yg menghisap darah dan impian rakyat akan keadilan serta kehidupan yg lebih baik. Mereka hisap sampai tandas tak bersisa tunas-tunas harapan yg baru mulai bersemi.
Adakah perbedaan pengkhianat di masa lalu dengan para pengkhianat itu sekarang?
Wajah-wajah sunyi dari masa lalu, relakah kalian dinista dengan cara seperti ini? Wajah-wajah sunyi dari masa lalu, adakah kalian kembali melelehkan air mata kekecewaan?
Hari ini, sudahkah cita-cita kalian menjadi kenyataan?
Hari ini, selintas pertanyaan bodoh mampir dalam benakku. Sia-siakah perjuanganmu wahai pahlawan?
Jogja, mengenang sembilan tahun lalu dalam kesunyian dan lintasan kekecewaan.
Komentar